Senin, 06 Januari 2014

UTS FILSAFAT ILMU

NAMA           : M. Amiq Fahmi
NIM                : 103111067
MAKUL        : Filsafat Islam
DOSEN          : Pak Darmu’in

  I.            FILSAFAT ISLAM AL-KINDI
1.      Dimana letak perbedaan filsafat Al-Kindi dengan Aristoteles? Jelaskan!
Jawaban :
Jika ada pertanyaan: “Dapatkah sebuah benda, menjadi sebab kejadiannya sendiri atau tidak”?
Kalau pertanyaan ini dihadapkan kepada Aristoteles, ia akan menjawab bahwa: sebab materi alam ini, adalah dipandang sebagai pokok. Tuhan adalah penggerak pokok, sebab Yang Akhir, tetapi bukan sebab-materi alam. Tuhan adalah mendahului wujud dan kekal.[1]
Terhadap pertanyaan ini, Al-Kindi memberikan jawabannya, bahwa tidaklah ada sebab ujudnya. Sebab itu, cari dalam sesuatu yang membiakkan ujud itu, yaitu Kebenaran Pertama, yang kita sebutkan Tuhan. Yang disebutkannyaKebenaran Pertama itu, tidak pernah diberi nama oleh Aristoteles.[2]
2.      Jelaskan alasan Al-Kindi mengenai bahwa “Fisafat itu mempunyai hubungan yang kuat dengan agama” ?
Jawaban :
Alasan Al-Kindi mengenai bahwa filsafat itu mempunyai hubungan yang kuat dengan agama, yaitu:
a.        Bahwa agama itu menjadi bagian filsafat, sebab filsafat adalah pengetahuan tentang kebenaran. Barangsiapa yang berpendapat, pengetahuan yang seperti ini berlawanan dengan agama, maka ia itu sendirilah yang tidak beragama. Pengetahuan tentang kebenaran, terkandung didalamnya, pengetahuan agama yang pokok, yaitu keesaan Tuhan (monotheisme) dan etika.
b.       Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat adalah cocok dan tidak berselisih antara keduanya. Tentang ini Al-Kindi memberi penegasannya: “Ilmu yang berfaidah kalau dipandang secara keseluruhannya, dan jalan untuk mencapai itu, dan daya upaya untuk menjaga keselamatannya dari tiap bahaya serta usaha untuk melindunginya, adalah sesuatu yang dibutuhkan, sebagai suatu kebenaran yang telah dinyatakan oleh Nabi atas nama Tuhan, wajib dipelihara. Nabi-nabi telah menyatakan tentang uniknya Ketuhanan, praktik kesucian yang diterima-Nya, dan menjahui segala kejahatan, kekotoran yang tidak berlawanan dengan sesuatu yang dinamakan suci pada diri mereka”.
c.  Usaha filsafat adalah diatur dengan logika. Karena itulah failasuf berkata: “Mempunyai pengetahuan filsafat itu, perlukah atau tidak? Kalau ahli agama memandang perlu, maka mereka harus mempelajari ilmu itu. Jikalau mereka berpendapat tidak perlu, mereka harus memberikan alasannya dan menunjukkan alasannya dan menunjukkan contoh-contohnya. Memberikan alasan dan menunjukkan contoh adalah bagian dari usaha untuk memperoleh ilmu kebenaran. Hal ini diperlukan, sebab mereka harus mempunyai pengetahuan ini, dan mengakui bahwa filsafat dapat mendukung agam mereka.[3]
3.      Bagaimana pendapat Al-Kindi mengenai filsafat serta metafisika? Coba Jelaskan!
Jawaban :
Menurut Al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu tentang semua yang berguna dan cara memperolehnya serta cara menjahui perkara-perkara yang merugikan. Jadi, tujuan seorang filosof bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran, dan bersifat amalan, yaitu yang mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebenaran, semakin dekat pula kepada kesempurnaan.[4]
Mengenai metafisika, meskipun Al-Kindi umumnya menyetujui pendapat-pendapat filsafat Aristoteles dan neo-Platonisme, dalam filsafatnya sendiri yang dikemukakan pada waktu itu ia telah “mengorbankan” prinsip-prinsip filsafat Aristoteles dan neo-Platonis tentang eternal creation dan nothing can come from nothing. The Law of Emanation dari neo-Platonisme dikemukakan oleh Al-Kindi dengan menyesuaikannya kepada asas kepercayaan Islam. Alam langit yang tertinggi sekalipun menurut Al-Kindi semuanya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Sedangkan Tuhan sendiri berada diatas ketentuan hukum alam.[5]
    II.            FILSAFAT ISLAM AR-RAZI
1.      Bagaimana cara berfikir Ar-Razi mengenai faham yang dianutnya, yaitu: tidak percaya pada wahyu, qur’an tidak mu’jizat, tidak percaya pada nabi-nabi, dan adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain tuhan?
             Jawaban :
Cara berfikir Ar-Razi hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya Nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia, dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya berfikir yang sama besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan pendidikan dan berlainan suasana perkembangannya. Nabi-nabi, menurut pendapatnya, membawa kehancuran bagi manusia, dengan ajara-ajaran mereka yang saling bertentangan. Bahkan ajaran-ajaran itu menimbulkan perasaan benci-membenci di antara umat manusia yang terkadang meningkat menjadi peperangan agama. Semua agama ia kritik. Orang tunduk pada agama, menurut pendapatnya, karena tradisi, kekuasaan yang ada pada pemuka-pemuka agama, dan karena tertarik pada upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang sederhana dalam pemikiran. Qur’an baik dalam bahasa dan gaya maupun dalam isi tidak merupakan mu’jizat. Ar-Razi lebih mementingkan buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan dari pada buku-buku agama. Tetapi sungguhpun ia menentang agama pada umumnya, ia bukanlah seorang ateis, malahan seorang monoteis yang percaya pada adanya Tuhan, sebagai penyusun dan pengatur alam ini.[6]
2.      Apa alasan Ar-Razi mengenai prinsip tentang lima yang abadi?
Jawaban :
Filsafat Al-Razi dikenal dengan ajarannya “ Lima Kekal”, yakni :
a.       Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
b.      An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa yang Universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
c.       Al-Hayulal-Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Atom tanah adalah yang paling padat, kemudian menyusul air, hawa dan api.
d.      Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
e.       Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Dari lima kekelan itu ada dua yang hidup dan bergerak yakni, Tuhan dan ruh yang pasif dan yang tidak hidup adalah materi pembentuk setiap wujud dan dua lagi yang tidak hidup, tidak bergerak dan tidak pasif yaitu kehampaan dan keberlangsungan. Benda tidak dapat terlepas dari yang lima ini sebab:
a.    Setiap benda perlu ada yang menciptakannya. Sebab itu ia perlu kepada Tuhan Pencipta.
b.    Diantara benda ada yang hidup. Hidup memerlukan roh. Sebab itu perlu adanya roh.
c.    Benda adalah materi, yang dengannya ia dapat diinderai.
d.   Materi mengambil tempat, sebab itu perlu ruang untuk sebagai tempatnya.
e.    Materi mengalami perubahan, perubahan terjadi dalam waktu.
3.      Bagaimana pendapat Ar-Razi mengenai Zaman?
Jawaban :
Tentang zaman Ar-Razi membaginya atas dua bentuk, ada zaman yang absolut dan ada zaman yang reltif. Zaman yang absolut bersifat abadi tidak berawal dan tidak berakhir, tetapi zaman yang relatif dapat disifati dengan angaka.[7]
 III.            FILSAFAT ISLAM AL-FARABI
1.      Bagaimana pendapat Al-Farabi mengenai Akal manusia, Fikiran Aktif, Ruh Suci? Jelaskan!
            Jawaban :
            Menurut Al-Farabi yang dimaksud dengan:
a.     Akal Fikiran adalah segala akal dan pemikiran yang terbit dari manusia sendiri, untuk mencari kebenaran dan lain-lainnya.
b.     Fikiran aktif adalah semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal umat manusia itu sendiri sebagai makhluk.
c.     Manusia menerima Ruh Suci, kalau dia mempunyai Fikiran Mulia. Fikiran Mulia menjadi Aktif dan langsung memimpin manusia itu sendiri. Orang ini bukan manusia, tetapi mendapat petunjuk Ruh-el-Kudus. Terhadap nabi, ia langsung dari Ruh Suci yang terus disampaikannya pada akal manusia.[8]
2.      Menurut Al-Farabi bagaimana hubungan antara agama dan filsafat? Jelaskan!
Jawaban :
Dalam pandangan Al-Farabi filsafat itu lebih dapat mencapai kebenaran dari pada menggunakan alasan-alasan agama. Dalam bukunya : “Untuk mencapai kebahagiaan”, ia mengatakan bahwa benda pokok baik dipandang secara agama atau dipandang secara fisafat adalah sama. Menurut Al-Farabi, agama serupa dengan filsafat. Keduanya membahas suatu pokok yang sama, tentang dasar pertama bagi makhluk, dan kesudahan yang akhir dari tiap-tiap makhluk itu. Filsafat memberikan contoh lebih kuat, sedangkan agama menguraikan persoalan itu juga lebih banyak mengemukakan alasan dialektika. Filsafat-filsafat, masa lahirnya lebih dahulu dari agama. Dalam menerangkan soal ini, Al-Farabi sejalan dengan Ibnu Rusyd. Mereka berpendapat, bahwa filsafat dan agama datang dari Tuhan, mengalir dari suatu Zat yang penting, terus melalui otak manusia, dengan mempergunakan akal sebagai wakilnya. Perbedaan antara kedua lapangan pengetahuan ini adalah filsafat menghendaki cara pasti, sedangkan agama mengemukakan secara dialektika. Selanjutnya, filsafat memberikan kebenaran benda-benda dalam diri benda itu sendiri, dan agama dalam mempergunakan jalan untuk mengemukakan soal yang serupa itu, memakai model pengetahuan.[9]
3.      Apa maksud dari akal potensil, akal aktuil, akal mustafad?
Jawaban :
a.         Akal Potensil adalah akal yang baru mempunyai potensi berfikir dalam arti : melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
b.         Akal Aktuil adalah akal yang telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagidalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk aktuil.
c.         Akal Mustafad adalah akal telah dapat menangkap bentuk semata-mata.
 IV.            FILSAFAT ISLAM IBNU SINA
1.      Pada pertama kali Ibnu Sina baru mempelajari filsafat, ia sangat setia kepada Aristoteles. Akan tetapi, setelah ia dewasa, ia meninggalkan Aristoteles dan menegakkan filsafat sendiri yang dinamakan “Filsafat Timur”. Jelaskaskan maksud dari “Filsafat Timur” yang ditegakkan oleh Ibnu Sina?
Jawaban :
Filsafat Timur adalah suatu usaha pembawaan filsafat Yunani yang selama ini hanya berdasarkan akal semata, kesuatu bidang akal ketuhanan yang disebutnya Tasawwuf. Bidang baru ini, penting baginya, agar segala hasil penciptaan akal manusia, dapat dipergunakan untuk kemanfaatan hidup peri kemanusiaan, bukan untuk merusakkan. Filsafat Timur, disusun secara tasawwuf, yang diartikan cahaya akal dengan diberikan penguraian dengan kaidah melimpah secara filsafat. Dengan tidak memusuhi Aristoteles dan Neo Platonis, Ibnu Sina berjalan bergandengan sambil menerima dan menghasilkan dalam bentuk ciptaan filsafatnya suatu konsepsi Islam, Tuhan Khalik-ul’alam dan Yang Maha Tahu[10]
2.      Apa saja dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa? Sebutkan!
Jawaban :
Empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa, yaitu:
a.       Dalil alam kejiwaan
b.      Dalil “aku” dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan
c.       Dalil kesinambungan (continuitas), dan
d.      Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara.[11]
3.      Pada diri kita ada peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin ditafsirkan, kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut ialah gerak dan pengenalan. Jelaskan maksud dari gerakan dan pengenalan?
Jawaban :
Gerakan ada dua macam, yaitu:
a.    Gerakan Paksaan, yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa suatu benda, kemudian menggerakkannya.
b.      Gerakan Bukan Paksaan, gerakan ini ada dua macam:
1)     Gerak yang sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
2)      Gerakan yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi sedangkan berat berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya diatas bumi. Gerakan tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah “jiwa”
Pengenala (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua makhluk, tetapi hanya dimiliki oleh sebagian saja. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada yang lainnya.[12]
    V.            FILSAFAT ISLAM AL-GHAZALI
1.      Bagaimana pengaruh filsafat Al-Ghazali terhadap fikiran filsafat sebelumnya?
Jawaban :
Akibat serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat sebelumnya, meski tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat muslim terhadap filsafat menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kelesuan berfikir dan berijtihad di kalangan umat Islam. Sejak pertengahan abad ke 12 M, hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan.
Meski demikian, kajian dan pemikiran filasafat, sesungguhnya tidak benar-benar hilang oleh serangan al-Ghazali, filsafat Islam tetap berkembang. Apa yang dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian orang hanya terjadi di kalangan sunni, khususnya Asy’ariyah. Pada bagian lain di dunia Islam, filsafat justru menemukan arah baru dan semakin membumbung tinggi.
2.      Sebutkan fikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam?
Jawaban :
Fikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, yaitu:
a.    Qadimnya alam,
b.    Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal kecil, dan
c.    Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
3.      Jelaskan perbedaan fikiran mengenai penciptaan alam antara para filosof dengan Al-Ghozali?
Jawaban :
Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
 VI.            FILSAFAT ISLAM IBNU RUSYD
1.      Bagaimana pendapat Ibnu Rusyd mengenai tentang Apakah alam ini mempunyai permulaan atau tidak?
Jawaban :
Menurud Ibnu Rusyd alam ini adalah azali, tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam itu sendiri. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazalian alam. Menurutnya, keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian alam.
Untuk memperkuat argumennya, ia menyatakan pembelaannya sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya, maka alam ini menjadi hadits (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikan alam, haruslah ada yang menjadikan pula. Demikian berturut-turut tak ada habisnya. Keadaan berantai seperti itu (tasalsul) dengan tiada berkeputusan akan merupakan hal yang tidak dapat diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadis (baru).
Karena diantara Tuhan dengan alam ada hubungan, meskipun tidak sampai pada masalah perincian walhal Tuhan azali, dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan sama, terkecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali, meskipun keazaliannya kurang utama daripada keazalian Tuhan.[13]
2.      Bagaimana pendapat Ibnu Rusyd mengenai tentangApakah Tuhan mengetahui segala perincian juziyat?
Jawaban :
Dalam usaha menjawab pertanyaan ini Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang telah disetujuinya. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui persoalah juziyat (hal-hal partikular). Tuhan ibarat seorang kepala negara yang tidak mengetahui persoalan-persoalan kecil didaerahnya.
Pendapat Aristoteles itu disetujuinya dengan didasarkan atas argumen sebagai berikut: Yang menggerakkan itu yakni Tuhan Al Muharrik. Tuhan itu merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan itu mengetahui selain daripada zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juzilat/partikular), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan hal hal yang kurang sempurna daripadaNya. Ini adalah tidak wajar. Maka sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain dari zat-Nya sendiri. Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri.[14]
3.      Bagaimana pendapat Ibnu Rusyd mengenai tentang “Manusia”?
Jawaban :
Dalam masalah manusia, Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsure materi dan forma. Jasad adalah materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yang merupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim yang terdiri dari anggota-anggota.




[1] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), Cet. 1, hlm. 78
[2] Ibid.,
[3] Ibid., hlm. 43
[4] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988), Cet. 1, hlm. 130
[5] Ibid., hlm. 131
[6] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet.9, hlm. 24
[7] Ibid., hlm. 22
[8] Oemar Amin Hoesin, Op. Cit., hlm. 106
[9] Ibid., hlm. 98
[10] Ibid., hlm. 124
[11] Poerwantana, dkk, Op. Cit, hlm. 157
[12] Ibid., hlm. 158
[13] Ibid., hlm. 204
[14] Ibid., hlm. 203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar