Senin, 13 Januari 2014

LANDASAN LINGUISTIK DALAM USHUL FIQH ( PARADIGMA BAYANI )

LANDASAN LINGUISTIK DALAM USHUL FIQH
 ( PARADIGMA BAYANI )

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh II
Dosen Pengampu: Dr. Akhwan Fanani, M,Ag.


 



Disusun oleh:
M. Amiq Fahmi         (103111067)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011



LANDASAN LINGUISTIK DALAM USHUL FIQH
 (PARADIGMA BAYANI)

I.         PENDAHULUAN
Sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama maupun Sunnah Nabi SAW sebagai sumber hukum yang Kedua adalah berbahasa Arab. Untuk memahami keduanya dengan baik, seseorang harus mempunyai kemampuan bahasa dan ilmu bahasa Arab dengan baik pula
Dan salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mempelajari dan mengkaji sumber hukum Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan.
Maka dari itu kami akan mencoba menerangkan dan menjelaskan tentang Landasan Linguistik dalam Ushul Fiqh (Paradigma Bayani).

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Lingustik dalam Ushul Fiqh (Paradigma Bayani)
B.     Macam-macam Linguistik dalam Ushul Fiqh
III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Linguistik dalam Ushul Fiqh (Paradigma Bayani)

Linguistik adalah ilmu tentang bahasa yang bersifat umum atau bersifat universal. Obyek kajian linguistik bukanlah bahasa tertentu saja, tetapi mengkaji terhadap semua bahasa, misalnya Inggris, Perancis, Latin dan lain sebagainya. Ilmu ini mencoba menerapkan teori-teori umum tentang bahasa. Linguistik bisa diterapkan kedalam bahasa Arab. Penerapan linguistik terhadap bahasa Arab tidak berarti meniadakan kedudukan ilmu nahwu, karena ilmu nahwu itu sangat penting dan sama sekali tidak dapat ditinggalkan dalam mempelajari bahasa Arab. Begitu pula penerapan linguistik dalam bahasa-bahasa dunia yang lain tidak berarti menghilangkan peran grammar yang berlaku secara khusus untuk bahasa itu. Linguistik adalah ilmu yang antara lain diabstraksikan dari sejumlah praktek bahasa-bahasa yang ada berikut grammar-nya masing-masing.

               Bayani atau al- Bayan adalah sutau ungkapan yang mencakup berbagai macam arti, tapi dengan dasar pengertian yang sama, meskipun cabangnya bisa sangat berbeda-beda. Sekurang-kurangya, al- Bayan adalah suatu ungkapan yang tegas yang ditujukan kepada lawan bicara dengan bahasa siapa al- Quran diturunkan. Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, ungkapan-ungkapan itu hampir bernilai sama, sekalipun kadar tekanannya bisa berbeda-beda. Sementara bagi yang tidak memahami bahasa itu, ungkapan-ungkapan tadi justru bisa dianggap saling berlawanan.[1]
Keseluruhan petunjuk yang mana telah diterangkan dalam dalam Al-Quran, di dalamnya Dia telah menyuruh umat manusia untuk mengabdi dan menyembah (Ta’abudi), sehubungan dengan keputusanNya yang Azali, bisa digolongkan kedalam beberapa kategori, yaitu :
Kategori pertama, yaitu petunjuk yang dinyatakan secara tersurat (Nash), misalnya yang menyangkut kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan, seperti: sholat, zakat, puasa dan haji. Atau yang mengenai sejumlah perbuatan terlarang, seperti: zina, minum khamr, makan bangkai, darah, daging babi; atau yang berupa penjelasan tentang, misalnya: bagaimana cara mengambil air wudhu, membuat kontrak jual-beli dan lain sebagainya.
Kategori kedua, penegasan tentang beberapa kewajiban dengan tata caranya yang sesuai atau diserahkan kepada sunnah Nabi, seperti tetntang jumlah rakaat salat, jumlah zakat dan waktu pelaksanaannya, serta berbagai kewajiban lain yang seperti itu.
Kategori ketiga, ialah sunnah Rasul tanpa penegasan definisi tentang status hukumnya dalam al- Quran. Untuk ini Allah swt telah menetapkan kewajiban kepada umatNya agar taat dan berpegang teguh kepada sunnah RasulNya. Barang siapa yang patuh kepada Rasul, maka berarti ia pun patuh kepada Tuhan.
Kategori keempat, adalah perintah yang harus dicari penjelasannya melalui Ijtihad. Pada jalan ijtihad itu Allah menguji komitmen kita melalui kewajiban-kewajiban lain yang ditentukanNya secara langsung kepada kita.[2] Sebagai mana dalam firman Allah swt :
öNä3¯Ruqè=ö7uZs9ur 4Ó®Lym zOn=÷ètR tûïÏÎg»yfßJø9$# óOä3ZÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur (#uqè=ö7tRur ö/ä.u$t6÷zr& ÇÌÊÈ
 Artinya : “ Dan Sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. (Muhammad : 31)

B.     Macam-macam Linguistik dalam Ushul Fiqh
Para Ushuliyun menetapkan bahwa perhubungan lafadz dengan makna mempunyai beberapa segi yang harus dibahas. Mereka membagi lafadz dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian :
1.      Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya lafadz itu dibagi menjadi tiga bagian, yakni :
a.      Khash
Khash adalah lafadz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.[3] Baik menunjukkan pribadi seseorang, seperti lafadz Ali, atau sesuatu macam/jenis seperti rajulun, atau bilangan tertentu sepeti lima.
Sedangkan hukum khas yaitu bila ada suatu lafadz khas dalam nash syariy maka makna yang khash yang ditunjuk oleh lafadz itu adalah khath’iy bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain yang mengalihkannya kepada makna yang lain.[4]
Lafadz khas itu mempunyai beberapa sifat, yaitu :
1)   Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan arti sebenarnya yang tidak terikat oleh sifat atau syarat.
2)   Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti sebenarnya yang terikat oleh sifat atau syarat.
3)   Amr adalah perintah menghendaki suatu perkara dari derajat yang lebih tinggi kepada derajat yang lebih rendah.
4)   Nahi adalah memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah derajatnya.
b.      Amm
Amm adalah suatu lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu[5].
Sedangkan hukum berhujjah dengan Amm, para ulama’ berpendapat bahwa dalalah menunjukkan seliruh syaratnya (satuannya) secara dhanniyah, karena apa yang terkandung dalam lafadz amm itu kebanyakan yang dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja.
c.       Musytarak
Musytarak adalah lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Misalnya : lafadz quru itu mempunyai arti dua yaitu suci dan haid.
Sedangkan hukumnya yaitu apabila persekutuan arti musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara makna lughawi dengan makna isthilahi syar’i maka hendaklah diambil makna menurut istilah syar’i.[6]
2.      Ditinjau dari segi makna yang dipakai untukya lafadz itu dibagi menjadi empat bagian, yakni :
a.      Hakikat dan Majaz
Hakikat adalah suatu lafadz yang sengaja diciptakan untuk memberi suatu arti yang sesuai dengan peristilahan bidang ilmu. Sedangkan majaz adalah suatu lafadz yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafadz itu bukanlah diciptakan untuknya.[7]
Dan hukum lafadz haqiqah dan majaz, yaitu :
1)   Setiap lafadz haqiqah harus diamalkan menurut arti yang semula diciptakan untuknya, baik bersifat amm maupun khas dalam bentuk amr atau nahi.
2)   Setiap lafadz majaz hendaklah  diamalkan menurut arti yang dipinjamkan untuknya.
3)   Apabila suatu lafadz dapat diartikan dengan artinya yang hakiki dan dapat pula diartikan dengan artinya yang majazi, hendaklah diartikan menurut artinya yang hakiki. Akan tetapi, kalau lafadz itu sukar untuk diartikan menurut arti yang hakiki, hendaklah dialihkan kepada arti majazinya.[8]
b.      Sharih dan Kinayah
Sharih adalah suatu lafadz yang maksudnya jelas sekali, lantaran sudah masyhur dalam pemakaiannya, baik secara hakiki maupun majazi. Sedangkan majazi adalah suatu lafadz yang maksudnya tersembunyi.
Dan hukum lafadz sharih dan kinayah, yaitu lafadz sharih wajib diamalkan, sedangkan lafadz kinayah tidak wajib diamalkan, kecuali jka ada qorinah yang mengharuskan untuk diamalkannya. Dengan demikian lafadz sharih itu lebih tinggi derajatnya dari pada lafadz kinayah.
3.      Ditinjau dari terang dan tersembunyinya makna, lafadz itu dibagi menjadi dua bagian, yakni :
a.      Zhahir
Zhahir adalah suatu lafadz yang menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai ketingkat zhanny (dugaan keras). Artinya, yang dimaksud dengan makna zhahir dari suatu lafadz adalah makna yang cepat ditangkap dari mendengarkan lafadz itu, namun masih ada sedikit kebolehjadian pengertian lain selain pengertian yang telah ditangkap.[9]
Sedangkan hukum lafadz dhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama tidak ada dalil yang menafsirkan, mentakwilkan, atau menasakhkannya.
b.      Khafi
Khafi adalah suatu lafadz yang dari segi penunjukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidak jelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidak jelasan itu disebabkan karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh suatu dalil.[10]
4.   Ditinjau dari cara-cara penunjukan (dalalah) lafadz kepada makna menurut kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi empat, yaitu :
a.      Dalalah Ibarat
Dalalah Ibarat juga basanya disebut dengan “Ibarat Nash”adalah penunjukan lafadz yang segera dapat dipahamkan dan makna itu memang dikehendaki oleh siyaqul kalam, baik maksud itu asli maupun tidak.
b.      Dalalah Isyarat
Dalalah Isyarat atau Isyarat nash adalah penunjukan suatu lafadz kepada makna yang tidak segera dipahamkan, akan tetapi,  makna itu tidak dapat dipisahkan dari makna yang dimaksudkan, baik menurut ratio maupun menurut adat kebiasaan dan baik makna itu jelas maupun samar-samar.
c.       Dalalatud dalalah
Dalalah-dalalah atau dalalatun nash ialah penunjukan suatu lafadz bahwa hukum yang dipetik dari nash yang disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak dituturkan dalam nash, karena adanya persamaan illat antara kedua macam perbuatan tersebut.
d.      Dalalah Iqtida’
Dalalah iqtidha’ yang disebut juga dengan Iqtidha’un nash adalah penunjukan lafadz kepada sesuatu yang tidak disebut oleh nash. Akan tetapi, pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Dengan kata lain nash tersebut tidak akan memberi pengertian, jika sekiranya tidak membubuhkan suatu lafadz atau pengertian yang sesuai.

IV.   KESIMPULAN
A.    Linguistik adalah ilmu yang membahas tentang bahasa yang bersifat umum atau universal. Ilmu ini mencoba meletakkan teori-teori umum tentang bahasa. Dan Bayani atau al- Bayan adalah sutau ungkapan yang mencakup berbagai macam arti, tapi dengan dasar pengertian yang sama, meskipun cabangnya bisa sangat berbeda-beda. Sekurang-kurangya, al- Bayan adalah suatu ungkapan yang tegas yang ditujukan kepada lawan bicara dengan bahasa siapa al- Quran diturunkan.
B.     Macam-macam linguistik diantaranya :
1.    Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya lafadz itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a.         Khash,
b.        Amm dan
c.         Musytarak.
2.   Ditinjau dari segi makna yang dipakai untukya lafadz itu dibagi menjadi empat bagian, yakni :
a.         Hakikat,
b.        Majaz,

c.         Sharih dan
d.        Kinayah.
3.    Ditinjau dari terang dan tersembunyinya makna, lafadz itu dibagi menjadi dua bagian, yakni :
a.         Zhahir dan
b.        Khafi.
4. Ditinjau dari cara-cara penunjukan (dalalah) lafadz kepada makna menurut kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi empat, yaitu :
a.         Dalalah Ibarat,
b.        Dalalah Isyarat,
c.         Dalalatud dalalah dan
d.        Dalalah Iqtidha’

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Maka dari itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif selalu sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin




DAFTAR PUSTAKA

Effendi , Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.  2005.

Syafi’i, Imam.  Ar-Risalah. Penerjemah: Ahmadie ThohaJakarta: Pustaka Firdaus. 1986.

Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam.  Bandung: Alma’arif. 1997.




[1]Imam Syafi’i,  Ar-Risalah, Penerjemah: Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), Cet. 1, hlm. 13
[2]Ibid., hlm. 14
[3] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet. I, hlm. 205
[4] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: PT. Alma’arif, 1986), Cet.I, hlm. 182
[5] Satria Effendi, Op. Cit., hlm. 196
[6] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm.256
[7] Ibid., hlm.259
[8] Ibid., hlm.260-261
[9] Satria Effendi, Op. Cit., hlm. 220
[10] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm. 226

Tidak ada komentar:

Posting Komentar