LANDASAN LINGUISTIK DALAM USHUL FIQH
( PARADIGMA
BAYANI )
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh II
Disusun oleh:
M. Amiq Fahmi (103111067)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
LANDASAN LINGUISTIK DALAM USHUL FIQH
(PARADIGMA BAYANI)
I.
PENDAHULUAN
Sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an sebagai sumber
hukum pertama maupun Sunnah Nabi SAW sebagai sumber hukum yang Kedua adalah
berbahasa Arab. Untuk memahami keduanya dengan baik, seseorang harus mempunyai
kemampuan bahasa dan ilmu bahasa Arab dengan baik pula
Dan salah satu unsur penting yang digunakan
sebagai pendekatan dalam mempelajari dan mengkaji sumber hukum Islam adalah
Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang
diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan
diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah
Istinbath dari segi kebahasaan.
Maka dari itu kami akan mencoba menerangkan dan menjelaskan tentang Landasan
Linguistik dalam Ushul Fiqh (Paradigma Bayani).
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Pengertian
Lingustik dalam Ushul Fiqh (Paradigma Bayani)
B.
Macam-macam
Linguistik dalam Ushul Fiqh
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Linguistik dalam Ushul Fiqh (Paradigma Bayani)
Linguistik adalah ilmu tentang bahasa yang bersifat umum atau bersifat universal.
Obyek kajian linguistik bukanlah bahasa tertentu saja, tetapi mengkaji terhadap semua bahasa,
misalnya Inggris, Perancis, Latin dan lain sebagainya. Ilmu ini mencoba menerapkan teori-teori umum tentang bahasa. Linguistik bisa diterapkan kedalam bahasa
Arab. Penerapan linguistik terhadap bahasa Arab tidak berarti meniadakan kedudukan ilmu
nahwu, karena ilmu nahwu itu sangat penting
dan sama sekali
tidak dapat ditinggalkan dalam mempelajari bahasa Arab.
Begitu pula penerapan linguistik dalam bahasa-bahasa dunia yang lain tidak
berarti menghilangkan peran grammar yang berlaku secara khusus untuk bahasa
itu. Linguistik adalah ilmu yang antara lain diabstraksikan dari sejumlah
praktek bahasa-bahasa yang ada berikut grammar-nya masing-masing.
Bayani atau al- Bayan
adalah sutau ungkapan yang mencakup berbagai macam arti, tapi dengan dasar
pengertian yang sama, meskipun cabangnya bisa sangat berbeda-beda.
Sekurang-kurangya, al- Bayan adalah suatu ungkapan yang tegas yang ditujukan
kepada lawan bicara dengan bahasa siapa al- Quran diturunkan. Bagi orang yang mengerti bahasa Arab,
ungkapan-ungkapan itu hampir bernilai sama, sekalipun kadar tekanannya bisa
berbeda-beda. Sementara bagi yang tidak memahami bahasa itu, ungkapan-ungkapan
tadi justru bisa dianggap saling berlawanan.[1]
Keseluruhan petunjuk yang mana telah
diterangkan dalam dalam Al-Quran, di dalamnya Dia telah menyuruh umat manusia
untuk mengabdi dan menyembah (Ta’abudi), sehubungan dengan keputusanNya
yang Azali, bisa digolongkan kedalam beberapa kategori, yaitu :
Kategori pertama, yaitu petunjuk yang dinyatakan
secara tersurat (Nash), misalnya yang menyangkut kewajiban manusia
sebagai hamba Tuhan, seperti: sholat, zakat, puasa dan haji. Atau yang mengenai sejumlah perbuatan terlarang, seperti: zina, minum khamr, makan bangkai,
darah, daging babi; atau yang berupa penjelasan tentang, misalnya: bagaimana
cara mengambil air wudhu, membuat kontrak jual-beli dan lain sebagainya.
Kategori kedua, penegasan tentang beberapa
kewajiban dengan tata caranya yang sesuai atau diserahkan kepada sunnah Nabi,
seperti tetntang jumlah rakaat salat, jumlah zakat dan waktu pelaksanaannya,
serta berbagai kewajiban lain yang seperti itu.
Kategori ketiga, ialah sunnah Rasul tanpa penegasan
definisi tentang status hukumnya dalam al- Quran. Untuk ini Allah swt telah
menetapkan kewajiban kepada umatNya agar taat dan berpegang teguh kepada sunnah
RasulNya. Barang siapa yang patuh kepada Rasul, maka berarti ia pun patuh
kepada Tuhan.
Kategori keempat, adalah perintah yang harus dicari
penjelasannya melalui Ijtihad. Pada jalan ijtihad itu Allah menguji
komitmen kita melalui kewajiban-kewajiban lain yang ditentukanNya secara
langsung kepada kita.[2] Sebagai mana dalam firman Allah swt :
öNä3¯Ruqè=ö7uZs9ur 4Ó®Lym zOn=÷ètR tûïÏÎg»yfßJø9$# óOä3ZÏB tûïÎÉ9»¢Á9$#ur (#uqè=ö7tRur ö/ä.u$t6÷zr& ÇÌÊÈ
Artinya : “ Dan
Sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan
(baik buruknya) hal ihwalmu”. (Muhammad : 31)
B.
Macam-macam Linguistik dalam Ushul Fiqh
Para Ushuliyun menetapkan bahwa
perhubungan lafadz dengan makna mempunyai beberapa segi yang harus dibahas.
Mereka membagi lafadz dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian :
1.
Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya lafadz itu dibagi menjadi
tiga bagian, yakni :
a.
Khash
Khash adalah lafadz yang mengandung
satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.[3]
Baik menunjukkan pribadi seseorang, seperti lafadz Ali, atau sesuatu macam/jenis
seperti rajulun, atau bilangan tertentu sepeti lima.
Sedangkan hukum khas yaitu bila ada
suatu lafadz khas dalam nash syariy maka makna yang khash yang ditunjuk oleh
lafadz itu adalah khath’iy bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain yang
mengalihkannya kepada makna yang lain.[4]
Lafadz khas itu mempunyai beberapa
sifat, yaitu :
1) Mutlaq adalah lafadz yang
menunjukkan arti sebenarnya yang tidak terikat oleh sifat atau syarat.
2) Muqayyad adalah lafadz yang
menunjukkan arti sebenarnya yang terikat oleh sifat atau syarat.
3) Amr adalah perintah
menghendaki suatu perkara dari derajat yang lebih tinggi kepada derajat yang
lebih rendah.
4) Nahi adalah memerintah
meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang
lebih rendah derajatnya.
b.
Amm
Amm adalah suatu lafadz yang diciptakan
untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa
dibatasi dengan jumlah tertentu[5].
Sedangkan hukum berhujjah dengan Amm,
para ulama’ berpendapat bahwa dalalah menunjukkan seliruh syaratnya (satuannya)
secara dhanniyah, karena apa yang terkandung dalam lafadz amm itu kebanyakan
yang dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja.
c.
Musytarak
Musytarak adalah lafadz yang mempunyai
dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Misalnya : lafadz quru itu
mempunyai arti dua yaitu suci dan haid.
Sedangkan hukumnya yaitu apabila
persekutuan arti musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara makna
lughawi dengan makna isthilahi syar’i maka hendaklah diambil makna menurut
istilah syar’i.[6]
2.
Ditinjau dari segi makna yang dipakai untukya lafadz itu dibagi menjadi
empat bagian, yakni :
a.
Hakikat dan Majaz
Hakikat adalah suatu lafadz yang
sengaja diciptakan untuk memberi suatu arti yang sesuai dengan peristilahan
bidang ilmu. Sedangkan majaz adalah suatu lafadz yang digunakan untuk suatu
arti yang semula lafadz itu bukanlah diciptakan untuknya.[7]
Dan hukum lafadz haqiqah dan majaz,
yaitu :
1) Setiap lafadz haqiqah harus
diamalkan menurut arti yang semula diciptakan untuknya, baik bersifat amm
maupun khas dalam bentuk amr atau nahi.
2) Setiap lafadz majaz
hendaklah diamalkan menurut arti yang
dipinjamkan untuknya.
3) Apabila suatu lafadz dapat
diartikan dengan artinya yang hakiki dan dapat pula diartikan dengan artinya
yang majazi, hendaklah diartikan menurut artinya yang hakiki. Akan tetapi,
kalau lafadz itu sukar untuk diartikan menurut arti yang hakiki, hendaklah
dialihkan kepada arti majazinya.[8]
b.
Sharih dan Kinayah
Sharih adalah suatu lafadz yang
maksudnya jelas sekali, lantaran sudah masyhur dalam pemakaiannya, baik secara
hakiki maupun majazi. Sedangkan majazi adalah suatu lafadz yang maksudnya
tersembunyi.
Dan hukum lafadz sharih dan kinayah,
yaitu lafadz sharih wajib diamalkan, sedangkan lafadz kinayah tidak wajib
diamalkan, kecuali jka ada qorinah yang mengharuskan untuk diamalkannya. Dengan
demikian lafadz sharih itu lebih tinggi derajatnya dari pada lafadz kinayah.
3.
Ditinjau dari terang dan tersembunyinya makna, lafadz itu dibagi menjadi dua
bagian, yakni :
a.
Zhahir
Zhahir adalah suatu lafadz yang menunjukkan
suatu pengertian yang hanya sampai ketingkat zhanny (dugaan keras). Artinya,
yang dimaksud dengan makna zhahir dari suatu lafadz adalah makna yang cepat
ditangkap dari mendengarkan lafadz itu, namun masih ada sedikit kebolehjadian
pengertian lain selain pengertian yang telah ditangkap.[9]
Sedangkan hukum lafadz dhahir itu
wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama tidak ada dalil
yang menafsirkan, mentakwilkan, atau menasakhkannya.
b.
Khafi
Khafi adalah suatu lafadz yang dari
segi penunjukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidak jelasan timbul
ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidak jelasan itu disebabkan
karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh
suatu dalil.[10]
4. Ditinjau dari cara-cara penunjukan (dalalah) lafadz kepada makna menurut
kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi empat, yaitu :
a.
Dalalah Ibarat
Dalalah Ibarat juga basanya disebut
dengan “Ibarat Nash”adalah penunjukan lafadz yang segera dapat dipahamkan dan
makna itu memang dikehendaki oleh siyaqul kalam, baik maksud itu asli maupun
tidak.
b.
Dalalah Isyarat
Dalalah Isyarat atau Isyarat nash
adalah penunjukan suatu lafadz kepada makna yang tidak segera dipahamkan, akan
tetapi, makna itu tidak dapat dipisahkan
dari makna yang dimaksudkan, baik menurut ratio maupun menurut adat kebiasaan
dan baik makna itu jelas maupun samar-samar.
c.
Dalalatud dalalah
Dalalah-dalalah atau dalalatun nash
ialah penunjukan suatu lafadz bahwa hukum yang dipetik dari nash yang
disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak dituturkan dalam nash, karena
adanya persamaan illat antara kedua macam perbuatan tersebut.
d.
Dalalah Iqtida’
Dalalah iqtidha’ yang disebut juga
dengan Iqtidha’un nash adalah penunjukan lafadz kepada sesuatu yang tidak
disebut oleh nash. Akan tetapi, pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika
yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Dengan kata lain
nash tersebut tidak akan memberi pengertian, jika sekiranya tidak membubuhkan
suatu lafadz atau pengertian yang sesuai.
IV.
KESIMPULAN
A.
Linguistik adalah ilmu yang membahas tentang bahasa
yang bersifat umum atau universal. Ilmu ini mencoba meletakkan teori-teori umum tentang bahasa. Dan Bayani atau al- Bayan adalah sutau ungkapan yang mencakup berbagai
macam arti, tapi dengan dasar pengertian yang sama, meskipun cabangnya bisa
sangat berbeda-beda. Sekurang-kurangya, al- Bayan adalah suatu ungkapan yang
tegas yang ditujukan kepada lawan bicara dengan bahasa siapa al- Quran
diturunkan.
B.
Macam-macam linguistik diantaranya :
1. Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya lafadz itu dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu :
a.
Khash,
b.
Amm dan
c.
Musytarak.
2. Ditinjau dari segi makna yang dipakai untukya lafadz itu dibagi menjadi
empat bagian, yakni :
a.
Hakikat,
b.
Majaz,
d.
Kinayah.
3. Ditinjau dari terang dan tersembunyinya makna, lafadz itu dibagi menjadi
dua bagian, yakni :
a.
Zhahir dan
b.
Khafi.
4. Ditinjau dari cara-cara penunjukan (dalalah) lafadz kepada makna menurut
kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi empat, yaitu :
a.
Dalalah Ibarat,
b.
Dalalah Isyarat,
c.
Dalalatud dalalah dan
d.
Dalalah Iqtidha’
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami
menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan karena manusia adalah
tempatnya salah dan lupa. Maka dari itu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif selalu sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak
manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Effendi , Satria. Ushul
Fiqh. Jakarta: Prenada Media. 2005.
Syafi’i, Imam. Ar-Risalah. Penerjemah: Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur
Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: Alma’arif. 1997.
[1]Imam Syafi’i, Ar-Risalah, Penerjemah: Ahmadie Thoha,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), Cet. 1, hlm. 13
[2]Ibid., hlm. 14
[3] Satria Effendi, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet. I, hlm. 205
[4] Mukhtar Yahya dan Fatchur
Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
(Bandung: PT. Alma’arif, 1986), Cet.I, hlm. 182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar